1.
a.
Suratkabar
Pembahasan
kali ini lebih menekankan pada sejarah suratkabar di Amerika Serikat. Mula-mula
suratkabar di Amerika memiliki ciri antara lain:
· Hanya terdapat beberapa lembar di surat kabar
· Tukang cetak dan kepala kantor pos melakukan peran
besar dalam menerbitkan surat kabar di awal
· Berita yang dulu tidak secepat berita yang sekarang
· Ide dari penulis berita tidak di biayai oleh
pemerintah colonial
Pada
awal mula, sekitar abad XVII, usaha penerbitan suratkabar merupakan hal yang
sulit di Amerika. Beberapa suratkabar seperti Boston Newsletter, New England
Courant, dan Public Occurance both Foreign and Domestic harus gulung tikar
karena pada saat itu ada kebijakan dimana suratkabar yang terbit harus memiliki
izin dari pemerintah colonial Inggris di Amerika.
Inovasi
pada suratkabar baru muncul setelah penerbitan Pennsylvania Gazzete. Dari suratkabar
ini lahirlah bentuk suratkabar dengan tampilan modern dan cetakan berkualitas
baik. Suratkabar ini juga mendukung profesi jurnalis sebagai profesi yang
terpandang.
Pada
zaman revolusi fisik Amerika, jumlah percetakan suratkabar di Amerika bertumbuh
pesat. Tercatat pada rentang tahun 1790-1830 muncul berbagai surat kabar. Pada
tahun 1820, terdapat 24 surat kabar harian, 66 surat kabar campuran, dan 422
mingguan. Kemudian pada tahun 1830, digunakan alat cetak tenaga uap
dengan kemampuan mencetak 4000 lembar per jam.
Suratkabar membantu perjalanan Amerika dalam menciptakan iklim
demokrasi. Masyarakat dengan mudah mendapt informasi melalui suratkabar.
Kemudian
di era 1830-1845, koran-koran mulai bermunculan di New York. Tercatat ada tiga
suratkabar besar yang lahir di era ini: New York Herald, New York Sun dan New York
Tribune. Ketiga koran ini berpengaruh dalam alur penerbitan surat kabar dimana
ditemukan teknik dan dasar dari penerbitan berita di suratkabar. Hingga akhir
1800-an, suratkabar berkembang menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan. Beberapa
suratkabar meningkatkan jumlah eksemplar demi meraup keuntungan. Iklan mulai
merambah dunia suratkabar dan menjadi salahsatu pemasukkan. Persaingan antar
pemilik suratkabar juga terjadi. Hal ini dibuktikan dengan suratkabar yang
berlomba untuk menyajikan kisah-kisah yang dianggap laku di masyarakat.
Sedangkan,
sejak tahun 1900 hingga saat ini, suratkabar mengalami penurunan pamor.
Berbagai peristiwa menyebabkan turunnya pamor suratkabar. Dimulai dari depresi
besar di tahun 1930 dan ditambah dengan ongkos produksi yang membengkak.
Kemudian di era modern, media massa online seperti internet mulai mengancam
keberadaan suratkabar. Penyatuan suratkabar menjadi hal yang wajar. Namun, penyatuan
tidak menyelesaikan masalah. Popularitas suratkabar tetap menurun. Hingga kini,
meskipun tetap bertahan, namun suratkabar sudah mengalami penurunan
popularitas, tidak seperti dahulu.
Untuk
Indonesia sendiri, suratkabar milik Indonesia asli mulai bermunculan di awal
abad 20, dimulai dengan penerbitan Medan Prijaji oleh RM. Tirtohadisoerjo. Kemudian,
pergerakan nasional yang dimulai sejak 1908 membangkitkan juga penerbitan
suratkabar kebangsaan seperti Oetoesan Hindia oleh Tjokroaminoto, Soeara Rakjat
Indonesia dan De Express. Namun keberadaannya saat itu sangat ditentang oleh
penjajah Belanda. Hal ini tidak berbeda jauh dengan kondisi saat Perang Dunia
kedua dimana Jepang yang menguasai Indonesia mengontrol ketat berita dan
peredaran berita melalui suratkabar. Pada masa Jepang, suratkabar yang biasa
ditemui ialah Tjahaja, Soeara Asia, Asia Raja dan Sinar Matahari.
Perang
Dunia dimenangkan oleh pihak sekutu dan menjadi tonggak berdirinya RI. Pada
tahun 1946, Belanda yang saat itu berupaya untuk kembali menjajah Indonesia
juga ingin kembali menguasai peredaran suratkabar di Indonesia. Namun, rakyat
dengan perjuangannya melahirkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1946
di Surakarta dan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar. Kehadiran dua
organisasi ini membantu eksistensi suratkabar perjuangan di wilayah Republik.
Ketika
Indonesia sudah terbebas dari penjajah, suratkabar dapat berkembang pesat. Pada
era demokrasi liberal, suratkabar merupakan corong bagi partai politik.
Beberapa partai politik memiliki surat kabar sebagai alat kampanye yang efektif
kala itu. Ada 105 suratkabar pada zaman ini, antara lain Harian Rakjat milik
PKI, Pedoman milik PSI dan Suluh Indonesia milik PNI. Trend ini berubah di
zaman Orde Baru dimana di era 1980-an, sebuah suratkabar harus memiliki SIUP (Surat
Izin Usaha Penerbitan). Suratkabar yang tidak berizin akan ditutup oleh Departemen
Penerangan kala itu.
Era
reformasi yang berlangsung sejak 1998 hingga saat ini memberi angin segar bagi
pers untuk berkembang. Industri pers menjadi raja industri baru di tanah air, seperti
Kompas Gramedia, MNC Group, JawaPos Grup dan Media Grup. Tampilan suratkabar kini
juga mulai bergeser menjadi media online, seperti Kompas e-paper.
b.
Majalah
Di
Amerika sendiri, penyebaran majalah baru dimulai pada abad XVIII. Tahun 1741,
persaingan antar Ben Franklin dan Andrew Bradford melahirkan dua majalah yang
menjadi cikal bakal majalah modern. Sejak saat itu, muncul majalah-majalah
lain, dimulai pada tahun 1757 dengan terbitnya American Magazine Cchronicle di
Philadelphia. Kemudian, saat perang revolusi, majalah menjadi media bagi kaum
intelektual untuk menciptakan opini publik di masyarakat.
Pada
perkembangannya, jenis majalah yang sangat diminati audiens merupakan majalah yang
memadukan berbagai isu seperti politik dan ekonomi. Pada era 1820-1840, majalah-majalah
seperti Saturday Evening Post, Graham dan Haper’s Monthly mulai mendapat hati
di masyarakat pembaca dengan membawakan topik-topik tertentu yang inspiratif. Majalah
sendiri baru mengalami kemajuan signifikan pada akhir abad XIX. Hal ini muncul
karena adanya inovasi dan kemudahan yang didapat oleh perusahaan majalah untuk
mencetak dan ongkos cetak yang murah. Di tahun 1900, tercatat ada 1800 majalah
di Amerika Serikat.
Pada
era 1900-an hingga sebelum Perang Dunia kedua, majalah menemukan bentuk yang
saat ini masih digunakan, yakni intisari, berita dan gambar. Beberapa majalah
yang hadir di era ini antara lain Look, Life, dan Time. Setelah Perang Dunia,
konsep majalah bertema menjadi sesuatu yang lazim bagi pembaca. Konsep ini
dipertahankan hingga saat ini dan dibuktikan dengan bertahannya majalah seperti
Playboy. Hingga kini, majalah masih berusaha mempertahankan eksistensinya di
bidang media dengan melakukan inovasi baru yang sejalan dengan identitas
majalah itu sendiri.
Di
Indonesia sendiri, penerbitan majalah yang dilakukan oleh orang Indonesia asli
dimulai pasca kemerdekaan RI. Majalah Pantja Raja menjadi pionirnya disusul
oleh Menara Merdeka di Ternate yang mencatat siaran RRI yang ditangkap di
Ternate. Kemudian ada juga majalah berbahasa lokal seperti Obor dengan bahasa
Jawa.
Majalah
di Indonesia baru berkembang pesat saat Orde Baru. Pada masa Orde Lama, majalah
tidak terlalu banyak jumlahnya, hanya ada beberapa kala itu. Contohnya ialah Star
Weekly. Sedangkan di zaman Orde Baru, muncul majalah-majalah seperti Tempo,
Gatra, Gadis dan lainnya. Majalah pada kala itu dapat dibedakan sesuai topik
yang dibahas, seperti politik, gaya hidup, hukum, ekonomi dan pertanian.
Keadaan ini terus berkembang dan didukung dengan kebebasan pers di Era
Reformasi yang menghasilkan majalah-majalah dengan genre tertentu sesuai
kebutuhan pasar hingga saat ini.
c.
Contoh kasus
pada majalah dan suratkabar
Beberapa
kasus pada suratkabar maupun koran merupakan bentuk pelanggaran dari asas
wartawan yang bermoral, netral, taat hukum, professional dan demokratis. Contoh
pelanggaran pada hal moralitas dapat dilihat pada Koran Lampu Hijau yang sering
mengangkat kasus pornografi dan dikemas dengan bahasa yang tidak layak
dikonsumsi khalayak.
2 comments
Terima kasuh infonya
BalasHapussama sama kak Gilbert
Hapus